Cerpen : Burung Punai dan Bukit yang Terlupakan

Burung Punai dan Bukit yang Terlupakan

Oleh: Randi  di sempurnakan dan di modifikasi oleh Muhammad Jumani

cerpen burung punai dan bukit yang terlupakan

Pagi itu, langit masih lembut berwarna biru susu. Kabut tipis menggantung rendah di atas pepohonan, dan embun masih bercokol di ujung daun. Aku menyampirkan keranjang rotan ke punggung, lalu berlari kecil menyusuri jalan tanah menuju rumah Gito.

"Git, kau sudah siap?" seruku sambil mengetuk-ngetuk pagar bambu rumahnya.

Dari balik pintu, Gito muncul dengan parang terselip di pinggang dan raut wajah ceria seperti biasa.

"Siap. Ibu tadi bilang banyak rebung di pinggir sungai kecil dekat hutan rimba. Kita ke sana dulu, siapa tahu dapat humbut rotan juga."

Kami pun menyusuri jalan kecil di tepi hutan, menyanyikan lagu-lagu lama sambil tertawa-tawa, menendang-nendang daun kering yang berserakan. Matahari belum terlalu tinggi, dan semilir angin pagi membawa aroma tanah basah dan daun rimba yang mulai mengering.

Setelah hampir dua jam menyusuri hutan, keranjang kami sudah hampir separuh penuh. Ada rebung, beberapa pucuk rotan, dan daun pakis. Kami duduk di atas batu besar dekat sungai kecil untuk beristirahat, membiarkan kaki terendam di aliran yang sejuk.

Tiba-tiba, dari balik dahan jambu-jambuan, terdengar suara gemerisik aneh. Aku mendongak dan melihat seekor anak burung punai terbang rendah dengan gerakan terhuyung-huyung.

"Git, lihat itu! Anak punai! Mungkin jatuh dari sarangnya," bisikku sambil menunjuk.

Burung kecil itu hinggap sebentar di dahan rendah, lalu kembali mengepakkan sayapnya. Kami terpikat. Seakan tanpa berpikir, aku dan Gito melompat dan mulai mengejar. Burung itu meluncur rendah, seolah mengejek kami, lalu terbang lagi, bersembunyi di balik semak dan dahan.

"Ayo cepat! Sayang kalau lolos!" seru Gito bersemangat.

Kami terus mengejar, menerobos semak, menyeberangi parit kecil, dan mendaki bukit landai. Tanpa terasa, waktu bergulir begitu cepat. Saat aku melirik ke langit, matahari sudah condong ke barat. Langit mulai berpendar jingga.

"Git, berhenti dulu," kataku sambil terengah. "Kita sudah terlalu jauh."

Gito berdiri terdiam, menatap sekeliling. Hutan di sekitar kami mulai berubah. Pepohonan makin jarang, dan tanah yang kami injak berubah jadi cadas putih yang kasar—batu kapur karst yang keras dan tajam. Aku menoleh ke belakang. Jalur yang kami lewati tak lagi terlihat. Hutan di sekeliling tampak asing.

"Git... ini bukit karst yang katanya angker itu, ya?" bisikku perlahan.

Wajah Gito memucat. "Bukit Tandu... iya, kayaknya ini sisi belakangnya. Astaga, orang tua selalu bilang jangan sampai masuk area ini saat sore."

Aku merasakan hawa dingin yang aneh menyusup di antara batang pohon. Udara tiba-tiba menjadi lebih berat. Sunyi. Bahkan anak burung punai itu entah ke mana.

"Kita harus cari jalan ke sisi depan bukit, Git. Ingat, cuma di sanalah ada jalan setapak ke desa," kataku, berusaha tetap tenang.

Kami mulai berjalan cepat, menebas semak dengan parang dan menandai pohon dengan torehan. Langkah kami terhenti saat aku menyibak semak rimbun yang menutupi sisi tebing. Dari celah pepohonan, tampak sebuah lubang gelap menganga di dinding batu. Mulut goa. Tak besar, namun cukup untuk dimasuki.

"Apa itu...?" bisikku. Aku melangkah pelan, mendekat seolah ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Jantungku berdetak tak karuan. Mulut goa itu seperti mengeluarkan aroma lembap dan tua. Seperti bau kayu lapuk yang disimpan terlalu lama.

Langkahku hanya tinggal satu meter dari pintu gelap itu, saat tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram bahuku dengan kuat.

"Ran! Jangan!" Gito menarikku ke belakang. "Kau tahu kita di mana sekarang? Goa di bukit ini katanya tempat aneh... orang tua bilang, sering terdengar suara seram menjelang malam!"

Nafasku tercekat. Aku menatap Gito, lalu menoleh lagi ke mulut goa yang tampak seolah berkedip dalam bayangan dedaunan yang bergoyang. Kami berdua terdiam cukup lama, sampai suara tonggeret yang bersahut-sahutan menyadarkan kami bahwa malam semakin dekat.

"Kamu benar, kita harus cepat cari jalan pulang. Ini bukan waktu untuk coba-coba," ujarku pelan.

Kami bergegas menyusuri lereng, menuruni jalur yang belum jelas. Tubuh kami tergores duri, kaki terperosok dua-tiga kali, namun akhirnya kami menemukan sebuah jalur tanah kecil yang dikenali—jalan setapak menuju desa.

Ketika rumah-rumah pertama terlihat dari kejauhan, kami berdua menghela napas panjang. Matahari sudah nyaris tenggelam. Langit memerah, dan desa diselimuti bayangan senja yang tenang.

Sebelum berpisah, Gito menoleh padaku.

"Tentang goa tadi... jangan bilang siapa-siapa, ya?"

Aku mengangguk pelan. "Iya. Sampai kita yakin... biar tetap jadi rahasia kita dulu."

Kami pun berjalan pulang ke rumah masing-masing. Tapi sejak saat itu, tiap kali aku melintasi tepi hutan, pandanganku selalu tertarik ke arah bukit itu. Bukit sunyi dengan goa kecil seolah sedang menunggu, entah untuk apa.

Rahasia Bukit Tandu

Hari Sabtu pagi, mentari baru muncul dari balik pegunungan jauh, namun pikiranku sudah dipenuhi rencana.

"Aku bilang ke Ibu mau cari rebung lagi," gumamku sambil mengisi tas kecil dengan senter, korek api, dan dua botol air.

Gito pun sudah sepakat. Kami akan kembali ke Bukit Tandu—tempat di mana goa misterius itu kami temukan dua minggu lalu. Kami tak pernah benar-benar bisa melupakannya. Goa itu seperti terus memanggil dalam diam, membisikkan rahasia yang belum sempat kami bongkar.

"Aku juga sudah izin sama Bapak, bilangnya cuma mau nyari humbut rotan," kata Gito saat kami bertemu di ujung desa.

Kali ini, kami lebih siap. Parang, senter, korek api, dan sedikit bekal makanan sudah kami bawa. Jalur menuju Bukit Tandu kami tempuh diam-diam, menyeberangi sungai kecil dan melintasi jalur semak yang dulu kami rintis. Meski matahari bersinar terang, hawa di hutan tetap lembap dan sejuk. Dedaunan bergoyang malas, dan suara burung-burung hutan jadi latar yang konstan.

Butuh waktu hampir dua jam sampai akhirnya kami berdiri lagi di depan mulut goa itu. Tak ada tanda-tanda kehadiran manusia. Semuanya masih seperti dulu—sepi, sunyi, dan menyimpan aura misterius yang menggantung di udara.

"Apa kita yakin mau masuk sekarang?" tanya Gito, suaranya pelan.

"Kalau bukan sekarang, kapan lagi?" balasku, mencoba terdengar yakin, meski jantungku berdetak keras.

Kami menyalakan senter, lalu menunduk dan perlahan memasuki mulut goa. Suasana langsung berubah. Cahaya dari luar semakin lemah, digantikan oleh kelembapan dan bau bebatuan tua. Dinding goa terasa dingin saat sesekali kusentuh untuk menjaga keseimbangan.

Langkah demi langkah kami masuki lorong gelap itu. Suara kaki kami menggema pelan, dan tetesan air dari langit-langit terdengar seperti jam yang berdetak pelan dalam kesunyian.

Goa itu ternyata jauh lebih luas dari yang kami kira. Setelah sekitar dua puluh meter berjalan, lorong terbuka menjadi ruang besar dengan langit-langit yang tinggi dan dipenuhi stalaktit seperti gigi naga yang menggantung.

"Git, lihat ke atas," bisikku kagum.

Langit-langit goa itu dipenuhi sarang burung walet—ratusan bahkan mungkin ribuan. Burung-burung kecil itu beterbangan cepat, suaranya bersahutan, menciptakan gaung unik di dalam ruang goa.

Burung walet goa dikenal sebagai jenis walet yang membangun sarangnya dari air liurnya sendiri. Sarang itu, meskipun tampak sederhana, adalah komoditas mahal. Sarang walet dipercaya memiliki manfaat kesehatan dan banyak diburu sebagai bahan dasar sup sarang burung, yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah per kilogram.

Aku spontan mencengkeram bahu Gito.

"Git... ini sarang walet. Banyak banget! Kita bisa kaya kalau bisa ambil ini!" bisikku, napas tercekat karena campuran antara kagum dan euforia.

Gito menelan ludah. "Iya... tapi... bisa nggak kita ambil? Apa aman?"

Belum sempat kujawab, dari arah luar goa, terdengar suara-suara. Suara laki-laki. Bukan satu... tapi tiga, atau mungkin lebih. Mereka tidak berbicara dalam bahasa atau logat yang kami kenal namun secara umum beberapa kalimatnya masih bisa kami pahami.

"Ayo sembunyi!" seruku lirih, menarik Gito ke belakang sebuah batu tinggi yang menyerupai tiang—mungkin dulunya semacam pilar batu kapur alami.

Kami menahan napas. Senter dimatikan. Yang terdengar kini hanya detak jantung kami dan langkah kaki yang masuk semakin dalam. Suara sepatu menghantam lantai goa, gema percakapan mereka semakin dekat.

Dari balik batu, aku mengintip sedikit. Tiga orang pria dewasa berdiri tak jauh dari tempat kami bersembunyi. Mereka membawa ransel besar, senter kepala, dan satu dari mereka menenteng galah panjang dengan jaring di ujungnya—jelas bukan orang sembarangan.

"Ada banyak. Masih aktif. Sarangnya baru," kata salah satu dari mereka dengan logat yang asing, mungkin dari luar daerah bahkan luar pulau.

"Kalau dapat 10 kilo aja... bisa pulang dengan untung besar. Besok malam kita mulai panen," kata yang lain.

Aku dan Gito saling pandang dalam gelap. Jelas mereka bukan sekadar pencari petualangan seperti kami. Mereka punya rencana besar. Dan lebih penting lagi... mereka tahu apa yang mereka lakukan.

Hawa dalam goa tiba-tiba terasa lebih dingin. Aku mulai sadar: rahasia yang kami temukan, bukan hanya milik kami berdua lagi. Kami bukan satu-satunya yang tahu tentang harta tersembunyi di Bukit Tandu ini.

Kami menahan napas begitu lama hingga dadaku terasa nyeri. Dari balik batu tempat kami bersembunyi, aku dan Gito menyaksikan ketiga pria asing itu memeriksa langit-langit goa sambil berdiskusi serius. Salah satu dari mereka menunjuk ke arah dinding yang lebih dalam sambil mencatat sesuatu di buku kecil. Setelah beberapa lama, akhirnya mereka bersiap keluar.

"Minggu depan, kita kembali. Bawa jaring dan tali lebih banyak," kata pria berkumis tebal.

Mereka berjalan ke arah mulut goa, suara sepatu mereka menggemakan langkah di sepanjang lorong. Kami baru benar-benar berani bergerak setelah suara mereka benar-benar menghilang.

"Git, kita harus lapor. Ini serius. Mereka bukan cuma pencari sarang, mereka kayak penjarah alam," bisikku.

Gito mengangguk cepat. "Iya. Ini bukan urusan main-main."

Kami perlahan merayap keluar dari balik batu, senter belum dinyalakan, hanya mengandalkan cahaya samar dari celah sempit goa. Saat kami hampir mencapai mulut goa, tiba-tiba...

"Hei! Siapa kalian?!"

Sebuah bentakan keras menggema, memantul di dinding batu, membuat bulu kudukku meremang. Dari bayangan pepohonan di mulut goa, muncul sosok pria bertubuh kekar, bertopi lapangan, dengan parang terselip di pinggang dan senapan berburu tersandang di punggung. Tatapannya tajam, penuh curiga dan ancaman.

Aku dan Gito terpaku sejenak—sekian detik yang terasa seperti berjam-jam. Pria itu melangkah cepat ke arah kami.

"Git, LARI!" teriakku, lalu spontan berbalik dan menyambar tangan sahabatku.

Kami berlari sekencang-kencangnya, menuruni bebatuan licin dan menerobos semak-semak berduri. Nafasku mulai berat, jantung berdentum di dada seperti genderang perang. Di belakang, terdengar langkah kaki berat menerobos semak, ranting-ranting patah, dan suara dengusan keras.

“Kalian pikir bisa lari, hah?!”

Suara itu seperti cambuk di punggung kami. Di tengah kabut panik, aku tahu satu hal pasti—pria itu tidak main-main. Demi sarang walet yang nilainya bisa mengubah hidup, dia mungkin akan melakukan apa saja… bahkan membungkam kami.

Namun sekuat apapun aku berlari, aku sadar kami tak akan bisa terus seperti ini. Napasku mulai habis, kakiku terantuk batu, dan jarak antara kami dan si pengejar semakin sempit.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menyambar lengan Gito dan menariknya ke belakang pohon besar.

"Git, kita harus berpencar," kataku cepat, menahan sesak di dada. "Kau turun ke arah sungai, terus ke desa. Lari secepat mungkin dan cari Bapakmu, atau Pak RT. Bilang semuanya."

"Tapi kau—"

"Aku akan memancing dia. Aku lebih kenal jalur ke punggungan karst. Aku bisa tarik dia menjauh." Aku menatap mata Gito, memaksa suara agar tetap tenang. "Percaya sama aku. Sekarang pergi!"

Tanpa menunggu jawaban, aku mendorongnya perlahan ke arah semak. Gito ragu sesaat, lalu mengangguk dengan mata berkaca-kaca, dan berlari ke arah yang berlawanan.

Aku  segera berlari menuju ke sisi barat bukit, dan dengan sengaja menabrak ranting kering dan semak-semak untuk menarik perhatian.

Dari belakang, terdengar derap kaki yang mengubah arah. Suara ranting patah, dedaunan tersibak, dan napas berat pria dewasa itu kini membuntutiku.

Di sela rasa takut, aku hanya bisa berharap—semoga Gito berhasil kembali ke desa sebelum aku tertangkap.


Dua Jalan, Satu Tujuan

Gito

Langkahku seperti tak menyentuh tanah. Nafasku memburu, jantung hampir meledak. Aku berlari menyusuri jalur yang setengah kuingat, setengah kuhafal. Setiap semak terasa seperti dinding, setiap suara daun gemerisik terdengar seperti langkah pengejar lain. Tapi aku tak peduli. Aku harus sampai ke desa.

Air sungai kecil kuterjang tanpa pikir panjang. Batu-batu licin kulewati dengan lutut yang nyaris goyah. Tak kupedulikan perih di betis dan goresan duri di lengan. Yang kupikirkan hanya satu—Randi masih di sana. Dia mengalihkan bahaya untukku. Aku tidak boleh gagal.

Ketika akhirnya kulihat atap-atap rumah desa dari kejauhan, tubuhku hampir roboh karena lega dan lelah. Aku nyaris merangkak saat mencapai halaman rumah Randi.

"Ibuuuuu...! Pak...! Tolong!" teriakku sambil menjatuhkan diri.

Beberapa warga segera keluar. Pak Hamdan, ayah Randi, langsung menyambarku dan membantu duduk.

"Gito? Apa yang terjadi?! Mana Randi?" suaranya keras dan cemas.

Aku memaksakan diri bicara, meski napasku masih tersengal. "Kami... ke Bukit Tandu... ada orang asing di goa... mereka mau ambil sarang walet... dan satu orang... kejar kami... Randi masih di sana... dia... memancing mereka..."

Mata Pak Hamdan membelalak. Segera, seperti api di ladang kering berita itu menyebar dengan cepat. Kepala desa segera dipanggil. Dalam waktu singkat, lima orang dewasa lengkap dengan senjata tajam, senter, dan anjing yang biasa mereka bawa untuk berburu sudah siap bergerak.

"Kita ke Bukit Tandu sekarang juga" kata Pak Kades, tegas.

Sementara itu...

________________________________________

Randi

Aku berlari sekuat mungkin melewati lorong sempit di antara batu karst yang menukik dan semak berduri. Sesekali aku menyambar dahan untuk menjaga keseimbangan, atau melompat kecil melewati akar-akar liar. Napasku terengah, dada terasa sempit, namun aku tahu, aku belum boleh berhenti.

Suara langkah berat di belakang masih terdengar. Pria itu terus memburuku, dan suaranya kadang meluncur seperti geraman marah:

"Jangan lari, bocah! Kau mau cari mati?!"

Teriakannya menusuk seperti cambuk. Tapi aku tak menjawab. Aku berbelok tajam ke arah celah batu sempit—satu jalur yang hanya bisa dilalui dengan tubuh kecil seperti milikku. Harapanku, itu akan memperlambat pengejar.

Tapi aku salah.

Tepat saat aku hendak melompat ke balik batu besar, kakiku tergelincir. Lututku terbentur, dan aku tubuhku terjatuh dengan cukup keras. 

Aku mencoba bangkit—tapi suara langkah itu sudah sangat dekat. Bahkan dengan jarak ini aku seolah bisa mencium bau tanah yang dibawa sepatunya dan bisa merasakan getaran tanah dari injakannya.

"Sudah ku bilang, jangan ikut campur..." gumam suara berat itu dari balik semak.

Aku bersandar ke batu besar, mencari batu atau kayu yang bisa kugunakan untuk bertahan. Tapi tak ada. Hanya tanah, dedaunan, dan tubuhku yang gemetar.

Namun sebelum dia sempat muncul dari balik semak—Gukk! Gukk!

Dua kali suara gonggongan keras terdengar dari arah utara.

Disusul suara laki-laki yang meneriakkan, "RANDI!! KAMI DI SINI!!"

Mataku membelalak. Itu suara warga desa!

Pengejarku ragu sejenak. Ditengah wajahnya yang tiba-tiba memucat entah karena efek kelelahan atau justru kaget dan takut, suara derap langkah lain terdengar dari arah berbeda. Dalam sekejap lebih banyak warga desa telah menyusul. 

Aku memanfaatkan momen itu. Kembali bangkit, meski lutut masih nyeri. Dengan sisa tenaga, aku berlari ke arah kerumanan warga dan menuju salah satu pria yang tidak lain adalah ayahku. 

"Astaga, Nak... syukur kau selamat..."

Aku hanya bisa mengangguk pelan, dan berkata “maaf” dengan lirih. 

________________________________________

Beberapa Saat Kemudian...

Warga yang dipimpin kepala desa menyisir goa dan sekitarnya. Namun si pengejar telah melarikan diri, jejaknya hilang di semak tebal. Mereka menemukan sebuah bivak sederhana yang sepertinya pernah digunakan oleh kelompok itu untuk beristirahat sementara. 

Keesokan harinya, kepala desa segera melaporkan kejadian ini ke pihak berwenang di Kabupaten. Dan beberapa hari kemudian, polisi hutan datang melakukan penyelidikan lebih lanjut.

_______________________________________

Penyelidikan Dimulai

Dua hari setelah pengakuanku dan Gito, dua mobil dari Kabupaten datang. Di dalamnya, beberapa petugas berseragam lengkap—perwakilan dari kepolisian hutan dan dinas kebudayaan. Mereka mewawancara kami dengan serius, mencatat setiap detail yang bisa kami ingat.

"Apa kau ingat ciri khusus mereka, Randi?" tanya seorang petugas yang memperkenalkan diri sebagai Pak Aditya, dari Balai Pelestarian Cagar Budaya.

Aku mengangguk pelan. "Yang satu bertubuh besar, berkumis, dan punya tato di lengan kanan. Satunya lagi kurus tapi jalannya agak pincang. Mereka bawa buku catatan. Dan senapan."

Gito menambahkan, "Mereka bicara dengan logat yang bukan dari sini. Tapi... mereka sepertinya tidak asing dan sudah terbiasa bergerak di dalam hutan.”

Pak Aditya dan timnya tampak saling bertukar pandang. Wajah-wajah mereka berubah serius.

"Kami punya dugaan sementara," kata beliau, dengan suara rendah. "Orang-orang ini... bisa jadi kelompok penjarah cagar budaya. Sudah beberapa tahun terakhir, banyak laporan tentang hilangnya sapundu, patung kayu sakral peninggalan Dayak, dan benda adat lainnya. Mereka dijual ke luar negeri melalui jalur gelap. Tapi sampai saat ini kami belum berhasil menangkap pelakunya."

Semua orang di ruangan terdiam.

"Bukit Tandu ini... letaknya strategis. Terlindung, terpencil, tapi dekat dengan jalur sungai yang bisa tembus ke hulu. Dugaan kami, mereka mencari tempat persembunyian. Tapi secara tak sengaja... mereka malah menemukan sarang burung walet yang melimpah itu."

Aku menelan ludah. Jadi semua ini bukan sekadar soal sarang burung walet. Ini jauh lebih besar dari yang kami bayangkan.

________________________________________

Rencana Penangkapan

"Menurut informasi dari kalian, mereka akan kembali minggu depan, kan?" tanya Pak Kades kepada Gito dan aku.

Kami mengangguk bersamaan.

"Mereka bilang malam minggu depan. Mereka butuh perlengkapan lebih lengkap dan tambahan orang," ucap Gito.

"Itu artinya kita punya waktu untuk menyusun strategi," kata Pak Aditya.

Dalam beberapa hari ke depan, sebuah rencana matang pun disusun. Tim kecil gabungan dari warga, polisi hutan, dan petugas budaya akan bersembunyi di sekitar Bukit Tandu, menunggu kedatangan para pelaku. Warga desa yang mengenal jalur hutan akan memandu pasukan kecil ini menyusup tanpa terdeteksi.

"Aku dan Gito... boleh ikut?" tanyaku perlahan saat rapat di balai desa hampir selesai.

Semua orang menoleh. Pak Hamdan menggeleng cepat. "Tidak, Randi. Kalian sudah melakukan lebih dari cukup. Sekarang giliran orang dewasa yang bergerak."

Pak Aditya tersenyum. "Kalian dua sudah berjasa besar. Tanpa kalian, kami mungkin tak akan pernah tahu apa yang terjadi di Bukit Tandu."

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, aku bisa tidur nyenyak. Tapi bukan karena semuanya sudah selesai. Justru karena semuanya baru akan dimulai.

Malam di Balik Sunyi

Angin malam menyelinap lembut di antara celah-celah batu kapur Bukit Tandu. Bulan separuh menggantung di langit, sinarnya yang pucat menari di atas dedaunan dan cadas putih. Sunyi menyelimuti perbukitan tua itu. Tapi malam ini, sunyi yang menunggu sesuatu.

Malam Penangkapan

Sekitar pukul 23.30, lima sosok pria muncul dari arah utara dan timur Bukit Tandu. Masing-masing membawa tas besar, lampu kepala, dan galah panjang. Dua di antaranya terlihat membawa senjata api rakitan—jenis yang biasa digunakan pemburu liar di pedalaman.

Tak ada raut cemas atau curiga di wajah mereka. Mereka terlalu yakin goa itu adalah rahasia mereka.

Mereka menyalakan senter kecil dan masuk ke dalam goa. Cahaya mereka menari di dinding batu, menyinari ribuan sarang burung walet yang menempel di langit-langit gua. Salah satu dari mereka berseru pelan:

“Ini lebih banyak dari laporan si Jalu. Setidaknya kita bisa dapat dua karung penuh.”

(Jalu—mungkin nama pria yang mengejar Randi dulu.)

Mereka tak sadar, dari balik batu, mata-mata lain sedang mengamati.

Tim penyergap gabungan—warga desa, polisi hutan, dan petugas dari Dinas Kebudayaan—telah siaga penuh, membentuk lingkaran senyap di sekeliling mulut goa dan titik keluar darurat.

Dari kejauhan, Randi dan Gito menyaksikan segalanya dari tempat persembunyian mereka. Tak jauh dari posisi Pak Kades dan dua polisi hutan bersenjata lengkap.

Titik Tertangkap

Tepat pukul 00.21, begitu seluruh penjarah masuk ke dalam goa...

“EKSEKUSI!”

Perintah itu menggema di radio senyap petugas. Serentak, cahaya lampu senter dinyalakan dari berbagai arah, bergerak cepat ke dalam goa .

“JANGAN BERGERAK! ANGKAT TANGAN!”

Lima pria yang masing-masing memegang senter dan beberapa sedang memegang galah terperangah. Satu dari mereka mencoba lari menerobos kerumunan barikade, tapi segera berhasil dilumpuhkan. Satu lagi mencoba mengangkat senjatanya—namun suara kokangan senapan petugas yang jumlahnya lebih banyak membuatnya ragu, dan akhirnya dia melemparkan senjata ke tanah.

Dalam waktu kurang dari tiga menit, seluruh anggota kelompok berhasil ditangkap hidup-hidup.

Pagi Menyingsing

Saat cahaya matahari mulai menyentuh pucuk pepohonan, para tersangka yang sementara diamankan di balai desa bersiap dipindahkan ke kendaraan dari kepolisian. Petugas menemukan barang bukti lengkap: peta jalur hutan, foto-foto situs budaya, dan beberapa perlengkapan yang mendukung untuk melaksanakan  aksi pencurian.

Pak Aditya dari dinas kebudayaan memberi pernyataan di depan warga desa:

“Penangkapan ini bukan hanya menyelamatkan sarang burung walet—ini menyelamatkan warisan budaya Kalimantan. 

________________________________________

Warisan yang Dijaga, Harapan yang Ditanam

Beberapa bulan telah berlalu sejak malam itu. Goa sarang walet yang semula tersembunyi di balik semak belukar dan cerita angker, kini menjadi tempat yang dijaga, dilindungi, dan dihormati.

Pemerintah daerah, melalui Dinas Kehutanan dan Kebudayaan, akhirnya mengambil keputusan penting: Goa Sarang Walet di Bukit Tandu diserahkan kepada desa untuk dikelola sebagai kawasan konservasi dan sumber ekonomi masyarakat—tentu dengan tetap menjaga keseimbangan alam dan budaya.

Warga membentuk kelompok pengelola desa, melibatkan tokoh adat, pemuda, dan perempuan untuk mengatur panen walet secara berkelanjutan, menjaga kebersihan gua, dan memastikan tidak ada lagi pihak luar yang bisa merusak tempat itu.

Tak hanya itu, pemerintah juga merancang jalur wisata edukatif yang mengajarkan pentingnya menjaga kelestarian hutan dan kekayaan budaya lokal.

Dan aku? Randi, anak desa yang dulu hanya ingin mencari rebung bersama sahabat, kini berdiri di podium kecil yang disiapkan di halaman Balai Desa.

Di sampingku, Gito tersenyum kaku tapi bangga. Kami mengenakan pakaian adat sederhana, dan di hadapan kami berdiri beberapa petugas pemerintah, kepala desa, dan seluruh warga yang memadati lapangan.

“Sebagai bentuk apresiasi atas keberanian dan kepedulian mereka terhadap alam dan budaya, maka hari ini kami menetapkan Randi dan Gito sebagai Pemuda Pelopor Desa. Semoga semangat mereka menjadi inspirasi bagi generasi muda lainnya.”

Tepuk tangan bergemuruh. Bukan hanya karena penghargaan itu, tapi karena semua orang tahu: di balik dua anak muda yang tampak biasa ini, tersimpan kisah yang luar biasa.

Aku memandang ke arah Bukit Tandu di kejauhan. Siluet bukit itu berdiri megah dalam cahaya senja. Tempat yang dulu menyimpan rahasia, kini menjadi warisan yang dijaga bersama.

Dan aku percaya, petualangan kami memang telah usai... tapi kisah kami baru saja dimulai.

________________________________________

TAMAT


Komentar