Cerpen : "Setetes Harapan di Tengah Kekeringan"

 Setetes Harapan di Tengah Kekeringan

Ide Cerpen : Jelsi Olipia 

Cerpen setetes harapan di tengah kekeringan

Di sebuah desa kecil di tepian hutan Kalimantan, tinggal dua sahabat bernama Rika dan Deri. Sejak kecil mereka selalu bersama.

Rika adalah gadis ceria, senang bercakap dengan siapa saja, dan selalu siap membantu. Sementara Deri lebih pendiam, pemalu, dan senang membaca buku di perpustakaan desa yang sepi.

Musim kemarau tahun ini terasa berbeda. Tanah retak-retak, kebun layu, dan sumur-sumur mengering. Warga desa mulai gelisah.

Awal Kekhawatiran

Suatu sore, Rika melihat ibunya memandangi ember di dapur dengan wajah cemas.

Ibu: “Air kita tinggal setengah ember. Besok mungkin harus antre di sumur desa, itu pun belum tentu dapat.”

Rika: “Setengah ember? Tapi… kita belum masak, belum cuci.”

Ibu: “Ibu juga bingung, Rik. Semua sumur hampir kering.”

Sementara itu, di rumahnya, Deri duduk di lantai dengan tumpukan buku tua. Ia membaca sebuah artikel dari arsip koran lama. Matanya berbinar.

Deri: “Rik! Aku nemu ini. Dulu pernah ada sumur tua di hutan. Airnya melimpah, tapi ditinggalkan saat sumur baru dibangun di desa. Kalau masih ada, kita bisa selamat.”

Rika yang baru datang dari sumur desa—dengan ember kosong—langsung mendekat.

Rika: “Kalau begitu, kita cari besok pagi. Daripada duduk diam, mending mencoba.”

Petualangan Dimulai

Rintangan Pertama – Hutan yang Membakar

Matahari pagi memancar tajam, bahkan sebelum pukul sembilan udara sudah panas menyengat. Mereka membawa dua botol air kecil, sepotong roti, dan peta seadanya yang digambar Deri.

Tanah di bawah kaki berdebu, rumput kering mematah setiap kali diinjak. Keringat membasahi punggung Rika.

Rika: “Panas banget… ini masih pagi, lho.”

Deri: “Kita harus hemat air. Minum sedikit saja.”

Rika: “Tapi aku haus!”

Deri: “Kalau haus sekarang, nanti di tengah perjalanan kita bisa kehabisan.”

Mereka beristirahat di bawah pohon besar, mencoba bertahan dari teriknya matahari. Keduanya sadar bahwa perjalanan ini bukan main-main.

Rintangan Kedua – Jalur yang Tersesat

Setelah berjalan satu jam, jalur setapak yang awalnya jelas mulai hilang, tertutup oleh ilalang tinggi dan semak belukar.

Duri-duri dari batang kering mencakar kaki mereka. Sesekali Rika mengaduh karena bajunya tersangkut.

Rika: “Ini jalannya? Kok kayak belum pernah dilewati orang.”

Deri: “Kalau benar sumur ini sudah puluhan tahun ditinggalkan, wajar jalannya tertutup.”

Rika: “Aku rasa kita harus putar balik.”

Deri: “Tidak. Lihat ini…” (menunjuk bekas susunan batu yang setengah terkubur tanah) “…mungkin ini petunjuk jalannya.”

Namun setelah mengikuti “petunjuk” itu, mereka malah sampai di tepi jurang kecil. Angin panas meniup wajah mereka, dan untuk sesaat, keduanya hanya berdiri terdiam.

Ketegangan – Suara Air yang Samar

Saat mereka hampir menyerah, terdengar suara yang membuat hati berdegup: gemericik air.

Rika: (berbisik) “Kau dengar itu?”

Deri: “Iya… cepat, ke arah sini.”

Mereka menyibak ranting, menuruni lereng kecil, dan di sanalah sebuah sumur tua muncul di hadapan mereka.

Bibir sumur tertutup lumut tebal, sekelilingnya penuh semak. Namun dari dalamnya terdengar tetesan air jatuh ke permukaan.

Rika: “Airnya… masih ada!”

Deri: “Tunggu. Kita tidak boleh sembarangan. Kalau langsung disedot habis, airnya bisa kering lagi.”

Kerja Sama Menyelamatkan Desa

Mereka berlari pulang untuk memberitahu warga. Awalnya tak semua percaya. Namun setelah beberapa orang dewasa ikut memeriksa, mereka sepakat untuk membersihkan sumur itu.

Rika mengorganisir anak-anak untuk membantu mengangkut ranting dan batu, sementara Deri mengajari warga cara mengatur penggunaan air berdasarkan yang ia baca dari buku: air dibagi untuk minum, masak, dan sedikit untuk ternak—tanpa membuang percuma.

Akhirnya, air dari sumur tua itu dialirkan ke bak penampungan desa dengan pipa bambu sederhana. Meski tidak melimpah, cukup untuk membuat desa bertahan sampai hujan kembali turun.

Penutup

Senja itu, Rika duduk di tepi bak penampungan sambil melihat Deri menutup buku catatannya.

Rika: “Kita berhasil, Der. Kita cuma dua anak, tapi kita selamatkan desa.”

Deri: (tersenyum) “Kita bukan cuma anak-anak, Rik. Kita sahabat… dan itu sudah cukup kuat untuk mengubah sesuatu.”

Dari kejauhan, suara tawa anak-anak yang sedang mengambil air terdengar. Dan di hati Rika dan Deri, setetes harapan itu terasa lebih segar daripada hujan pertama.

Komentar