Cerpen : Tetesan Kebaikan

Tetesan Kebaikan

Ide Cerita : Nisa Selsiani

Cerpen Tetesan Kebaikan

Pagi di Desa Jamparan Raya selalu dimulai dengan suara ayam berkokok dan aroma embun yang menempel di dedaunan. Di tengah desa, berdirilah satu-satunya sekolah menengah yang sederhana, tempat Kristi dan Melsi menimba ilmu. Walau satu sekolah, keduanya ibarat dua kutub yang berbeda.

Kristi dikenal sebagai siswi yang ramah, senyumannya mudah ditemui di setiap sudut sekolah. Ia selalu siap membantu, entah itu membersihkan kantor, membantu teman yang kesulitan belajar, atau sekadar menemani teman yang sedih.

Melsi, sebaliknya, adalah siswi yang terkenal dingin dan cuek. Ia jarang bergaul, lebih suka menghabiskan waktu sendiri. Jika berbicara, kata-katanya sering terdengar menusuk tanpa disaring. Banyak teman menganggapnya sombong, meski tak ada yang tahu pasti alasan di balik sikapnya.

Hubungan mereka selama ini tidak pernah akrab. Bahkan, ketika tugas kelompok diumumkan, keduanya seperti air dan minyak—tak mau bercampur. Namun, hari itu keadaan berkata lain.


Awal Konflik

Suatu pagi di awal musim hujan, Pak Darman, guru Biologi, mengumumkan proyek besar: Penelitian Lingkungan Desa. Setiap kelompok harus turun langsung mengamati kondisi sungai yang menjadi sumber air warga, lalu membuat laporan lengkap.

“Setiap kelompok beranggotakan dua orang,” kata Pak Darman sambil membagikan kertas undian.

Kristi membuka lipatan kertasnya dan membaca, Nomor 7. Ia melirik ke teman-temannya, mencari siapa yang bernomor sama. Saat pandangannya bertemu Melsi yang mengangkat kertas dengan angka yang sama, jantungnya sedikit berdegup canggung.

Melsi hanya menghela napas. “Ya sudah, cepat selesaikan. Aku nggak mau kerja lama-lama,” ujarnya dingin.

Kristi tersenyum kecil. “Kita lihat saja nanti.”


Misi di Sungai

Dua hari kemudian, mereka memulai penelitian di tepi Sungai Cempaka. Airnya keruh karena hujan semalam, arusnya deras membawa ranting dan dedaunan. Kristi memulai dengan menyiapkan alat ukur dan buku catatan, sementara Melsi duduk di atas batu besar sambil memainkan ponselnya.

“Kalau kamu nggak bantu, kita nggak akan selesai,” kata Kristi sambil tetap menunduk menulis.

“Aku nggak suka kotor-kotoran,” jawab Melsi tanpa menoleh.

Kristi menarik napas dalam. Ia mencoba bersabar. “Tapi ini tugas kita berdua.”

Melsi mendengus, lalu berdiri. “Baiklah, tapi jangan salahkan aku kalau hasilnya nggak bagus.”

Mereka mulai mengukur kedalaman air, memeriksa kualitasnya, dan mencatat data. Namun, di tengah pekerjaan, mendung kembali bergelayut. Hujan turun tanpa peringatan, membuat arus sungai makin deras.


Saat Bahaya Datang

Ketika hendak mengemas peralatan, Kristi melihat seekor anak rusa terjebak di pinggir sungai, terperangkap di antara akar pohon yang hampir terendam air. Hewan itu meronta dengan keras, berusaha melepaskan diri.

“Kita harus menolongnya,” ujar Kristi spontan.

“Serius? Itu bukan urusan kita,” jawab Melsi cepat.

“Kalau kita diam saja, dia bisa mati tenggelam.”

Kristi tak menunggu jawaban. Ia melangkah hati-hati mendekati kambing itu, namun pijakannya licin. Dalam sekejap, kakinya terpeleset dan tubuhnya hampir jatuh ke arus.

“Kriiiiisti!” teriak Melsi kaget. Tanpa pikir panjang, ia melompat menghampiri, menarik tangan Kristi kuat-kuat. Bersama-sama, mereka berhasil menahan diri agar tidak terseret air.

Anak rusa itu pun akhirnya selamat dan segera berlari ke semak-semak. Nafas mereka terengah, pakaian basah kuyup, namun mata mereka bertemu dalam diam. Untuk pertama kalinya, Kristi melihat sisi lain dari Melsi. Remaja yang biasanya dikenal cuek dan tidak penduli ini ternyata tidak sepenuhnya benar, kejadian barusan telah membuktikan bahwa jauh di dasar lubuk hatinya masih ada sisi-sisi kebaikan. 

Sejak kejadian itu, Kristi mulai mencari tahu tentang kehidupan Melsi. Ia yakin, sikap cuek, kasar dan egois yang dimiliki gadis itu bukan murni dari dalam hatinya tetapi bentuk kekecewaan atau pelampiasannya saja. 

Sedikit demi sedikit, Kristi akhirnya menemukan alasannya. Berdasarkan cerita tetangga, dan orang-orang yang mengenal keluarga Melsi, terkuak sebuah ironi pahit. Awalnya sebagai anak tunggal, Mesli mendapatkan kasih sayang penuh oleh kedua orang tuanya. Namun sejak ia lulus sekolah dasar dan akan masuk ke jenjang SMP, kedua orang tuanya mulai sibuk bekerja jauh dari desa sehingga jarang sekali pulang untuk menjenguknya. Sejak itu ia hanya tinggal bersama sang nenek. Mungkin karena tidak lagi mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya, Melsi akhirnya tumbuh menjadi remaja yang egois dan cuek pada lingkungannya. 

Menyadari hal ini, Kristi akhirnya bertekat untuk membantu penyelamatnya ini.

Momen Penyelamatan Balik

Beberapa hari setelah insiden di sungai, Kristi dan Melsi kembali ke lokasi penelitian untuk melengkapi data yang kurang. Udara pagi itu cukup cerah, meski tanah di sekitar sungai masih licin karena hujan semalam.

Ketika sedang mengukur lebar arus, Kristi melihat Melsi berdiri agak jauh, di bawah pohon besar, sibuk menyalin catatan. Tiba-tiba, dari atas pohon terdengar suara retakan. Kristi menengadah, matanya membelalak — ada dahan besar yang patah dan perlahan jatuh tepat ke arah Melsi.

“Mel! Awas!” teriak Kristi.

Tanpa pikir panjang, Kristi berlari dan mendorong Melsi menjauh. Dahan itu jatuh tepat di tempat Melsi berdiri beberapa detik sebelumnya, menghantam tanah dengan suara keras.

Melsi terdiam, jantungnya berdegup kencang. “Kau… barusan—”

“Tidak apa-apa, ‘kan? Kau nggak terluka?” potong Kristi, menepuk bahunya.

Melsi menatap Kristi lama, seolah mencoba memahami mengapa gadis itu mau mengambil risiko sebesar itu demi dirinya. Dalam hatinya, perasaan aneh mulai tumbuh — hangat, sekaligus membuatnya sedikit bingung.

Saat mereka melanjutkan pekerjaan, Melsi tak banyak bicara. Namun, di dalam hatinya ia mengakui sesuatu: mungkin selama ini ia salah menilai Kristi. Tidak semua orang di dunia ini hanya peduli pada dirinya sendiri. Dan Kristi… benar-benar peduli.

Perubahan yang Perlahan

Melsi mulai menunjukkan perubahan kecil. Ia lebih sering bertanya pendapat Kristi, membantu mencatat data, bahkan beberapa kali menawarkan makanan saat istirahat.

Kristi tidak mengomentari perubahan itu secara langsung, tetapi ia merasakannya. Bagi Kristi, perubahan tak perlu dipaksa. Seperti tetesan air yang perlahan melubangi batu, kebaikan akan menemukan jalannya sendiri.

Di hari terakhir proyek, mereka harus mempresentasikan hasil penelitian di depan kelas. Melsi, yang biasanya menghindar dari tugas berbicara, kali ini maju bersama Kristi.

“Kami menemukan bahwa kualitas air Sungai Cempaka menurun akibat aktivitas pertambangan emas tradisional,” kata Melsi dengan suara tegas. “Jika tidak segera ditangani, akan berdampak buruk pada warga.”

Siswa lain terkejut mendengar Melsi bicara dengan penuh semangat. Kristi tersenyum bangga.

Seusai presentasi, Melsi menghampiri Kristi di bawah pohon mangga halaman sekolah.

“Aku mau bilang terima kasih,” ucap Melsi pelan.

Kristi mengangkat alis. “Untuk apa?”

“Untuk nggak nyerah sama aku. Untuk bikin aku sadar… kalau selama ini aku terlalu keras sama dunia. Aku pikir semua orang cuma mikirin dirinya sendiri. Ternyata nggak.”

Kristi menatapnya lembut. “Nggak ada kata terlambat untuk berubah, Mel.”

Melsi mengangguk. “Aku bersyukur masih punya kesempatan. Dan… kalau kamu mau… kita bisa jadi teman?”

Kristi tersenyum lebar. “Kita sudah teman sejak awal. Hanya saja kamu belum menyadarinya.”

Mereka tertawa kecil. Di kejauhan, suara riak Sungai Cempaka terdengar, seolah ikut merayakan lahirnya persahabatan baru. Sejak hari itu, keduanya sering terlihat bersama, bekerja sama dalam berbagai kegiatan sekolah.

Kristi membuktikan bahwa kebaikan, sekecil apa pun, dapat mengubah hati yang keras. Dan Melsi membuktikan bahwa tidak ada kata terlambat untuk memulai kembali.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KUIS Inspirasi Pagi Sesion 1

Tenaga Pendidik SMAN 1 Petak Malai