Cerpen : Tipu Muslihat di Bukit Bangapan
Tipu Muslihat di Bukit Bangapan
Oleh : Amansyur. I. A
SMAN 1 Petak Malai
Penyunting : Muhammad Jumani
Aku, Gito, Deri, dan Randi sudah sejak lama merencanakan perjalanan ini. Akhir pekan kali ini, kami sepakat untuk mendaki Bukit Bangapan, salah satu bukit terindah di kawasan kami yang terkenal dengan panorama pegunungan karst dan lebatnya hutan hujan tropis.
Setelah memastikan semua perbekalan lengkap—mulai dari logistik, tenda, hingga kotak P3K—kami berkumpul di rumah Gito sebelum bersama-sama menuju Desa Batu Tukan, titik awal pendakian.
Perjalanan dimulai dengan penuh semangat. Hawa sejuk khas pegunungan menyambut langkah kami sejak dari kaki bukit. Hamparan pohon hijau, suara burung bersahut-sahutan, dan gemericik air sungai kecil menjadi orkestra alami yang menenangkan jiwa. Sesekali Gito menawarkan cemilan kepada kami, dan tawa Randi yang khas mengisi perjalanan. Ia memang selalu punya cara membuat suasana jadi hidup. Deri berjalan paling belakang, matanya awas memperhatikan jalur dan sesekali mengingatkan jika ada jalur licin atau akar pohon yang menjulur.
Kami adalah tim yang solid. Saling jaga, saling bantu, dan saling percaya. Tapi semuanya berubah ketika kami bertemu Jaka.
Ia muncul entah dari mana. Pria bertubuh tinggi dengan mata tajam menusuk, membawa ransel besar dan tampak sendirian. Awalnya, ia tampak ramah, bahkan menawarkan bantuan saat kami kesulitan membuka simpul tali tenda di pos peristirahatan kedua. Tapi ada sesuatu yang membuatku merasa tidak nyaman. Tatapannya terlalu waspada, senyumnya terlalu dibuat-buat.
“Sendirian, Mas?” tanya Gito ramah.
“Iya, biasa. Sudah sering naik-turun gunung. Pendakian itu buat yang kuat, bukan yang banyak omong,” jawabnya dingin sambil tersenyum sinis pada Randi yang baru saja melontarkan lelucon receh.
Kami hanya saling pandang. Jaka lalu berjalan duluan, dan kami memilih tetap dengan tempo santai.
Namun, sejak saat itu, suasana berubah. Jaka sering muncul tiba-tiba di belakang kami, kadang mendahului lalu menunggu di titik tertentu. Di satu kesempatan, ia bahkan menuduh Randi mengambil botol air miliknya. Padahal kami semua tahu, Randi tak akan melakukan itu.
Puncak dari semuanya terjadi saat kami hampir mencapai area puncak. Jalurnya sempit, di sisi kanan ada tebing yang curam. Kami berjalan berurutan: aku, Gito, Randi, Deri, lalu Jaka. Tiba-tiba terdengar teriakan.
“Woy! Awas!” teriak Gito.
Aku menoleh cepat. Randi hampir terjatuh! Ia berpegangan pada semak dan batu di pinggiran jalur. Aku dan Gito buru-buru menarik tubuhnya. Di saat yang sama, Deri yang sempat melihat kejadian dari belakang mendekat sambil menunjuk Jaka.
“Dia yang dorong Randi!” ucap Deri dengan napas memburu.
Jaka berusaha membela diri, “Apa-apaan ini! Dia terpeleset sendiri!”
Namun Deri, dengan cepat, menunjukkan bukti: ia merekam sebagian perjalanan kami dengan ponsel yang selalu dibawanya. Dalam video itu, jelas terlihat Jaka mendorong Randi dengan sengaja.
Merasa terpojok Jaka nekat hendak merampas ponsel Deri untuk menghapus barang bukti. Melihat aksi itu Aku, dan Gito tanpa pikir panjang segera meringkus Jaka. Meski bertubuh jauh lebih tinggi, melawan kami berdua di bantu Deri dan Randi, Jaka sama sekali bukan lawan kami. Aku dan Gito mengikat tangannya dengan tali cadangan, dan bersama-sama kami membawanya ke pos pengamanan yang tidak jauh dari jalur menuju puncak. Petugas yang berjaga pun langsung mengamankan Jaka setelah kami menunjukkan bukti video.
Dari penuturan petugas di POS jaga, mereka akhirnya tahu bahwa Jaka ini memang pendaki yang sering dikeluhkan oleh pendaki lain. Selain berperilaku kasar, ia juga sering meminta dengan paksa perbekalan pendaki lain. Bahkan beberapa pendaki menuturkan sering kehilangan barang bawaan ketika sering berinteraksi dengan Jaka, namun mereka tidak memiliki bukti.
Setelah itu, kami kembali melanjutkan pendakian. Meski sempat terguncang, semangat kami tidak padam. Dan ketika akhirnya kami menginjakkan kaki di puncak Bukit Bangapan, perasaan lega, bangga, dan haru menyelimuti kami.
Kami duduk berempat di batu besar yang menghadap ke lembah, menikmati tiupan angin puncak sambil menatap matahari sore yang mulai turun perlahan.
“Kalau nggak ada Deri, mungkin aku udah—” Randi tak menyelesaikan kalimatnya.
Aku menepuk pundaknya. “Yang penting kita semua selamat. Ini jadi pelajaran buat kita. Di alam bebas, bukan cuma fisik yang kuat, tapi hati dan kepala juga harus siap.”
Kami pun tertawa kecil bersama. Bukit Bangapan tidak hanya menjadi saksi perjalanan pendakian kami, tetapi juga ikatan persahabatan yang makin kuat.

Komentar
Posting Komentar