Mengapa Numerasi Penting? Realita dan Solusi di Sekolah Pedesaan

SMAN 1 Petak Malai - Banyak anak (dan orang dewasa) merasa “kurang akrab” dengan angka. Padahal, numerasi bukan sekadar hitung-hitungan di kelas; ini adalah keterampilan untuk memahami, menggunakan, dan menafsirkan informasi angka dalam kehidupan sehari-hari—mulai dari menghitung kembalian di warung, membaca grafik cuaca, sampai mengatur waktu belajar. Pemerintah pun baru meluncurkan Gerakan Numerasi Nasional (GNN) sebagai langkah bersama untuk memperkuat budaya berhitung dan berpikir logis di sekolah dan masyarakat.
Numerasi

Di tingkat global, hasil PISA 2022 mengingatkan kita bahwa kemampuan matematika siswa Indonesia masih perlu digenjot. Proporsi siswa yang mencapai level kemahiran dasar dan atas di matematika relatif kecil dibanding rata-rata negara OECD—sebuah alarm bahwa kerja bareng sekolah, orang tua, dan komunitas itu penting. 

Di sekolah kita sendiri, Rapor Pendidikan menunjukkan capaian numerasi yang masih di bawah harapan. Rapor ini memang dirancang sebagai cermin untuk refleksi dan perbaikan berkelanjutan, berbasis data Asesmen Nasional—termasuk AKM Numerasi.

Dari pengamatan harian guru, pekerjaan rumah, hingga hasil asesmen kelas, terlihat bahwa kemampuan berhitung dasar (penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, perbandingan, dan pemecahan masalah sederhana) masih rapuh. Ini bukan berarti anak-anak kita tidak mampu, justru banyak dari mereka penasaran dan mau belajar tetapi ekosistem pendukungnya belum selalu ideal.

Mengapa Ini Bisa Terjadi? (Analisis Singkat & Bernuansa)

  1. Pendampingan belajar di rumah yang belum konsisten.
    Sejumlah studi lokal menemukan bahwa minimnya keterlibatan orang tua (menanyakan PR, menetapkan jam belajar, menemani latihan sederhana) berkorelasi dengan rendahnya kebiasaan numerasi anak. Di beberapa desa, anak juga lebih tertarik ke gawai untuk hiburan, bukan belajar.

  2. Kecemasan dan pengalaman negatif terhadap matematika.
    “Takut salah” atau pengalaman belajar yang terlalu prosedural bisa memicu math anxiety sehingga anak menghindari latihan, padahal penguatan numerasi butuh latihan kecil tapi sering. (Temuan di wilayah 3T dan konteks perbatasan juga menyoroti faktor psikologis ini).

  3. Pembelajaran yang kurang kontekstual.
    Ketika angka tak dikaitkan dengan situasi nyata (timbangan di pasar, takaran resep, jarak dan waktu perjalanan), siswa kesulitan melihat manfaatnya. Penelitian juga menyoroti perlunya guru rutin memberi soal berbasis literasi-numerasi yang dekat dengan keseharian.

  4. Akses & waktu keluarga.

    Di wilayah pedalaman, orang tua kerap bekerja hingga sore/malam dan anak turut membantu pekerjaan rumah tangga. Waktu belajar terstruktur jadi terbatas—ini faktor struktural, bukan semata “tidak peduli”. (Catatan: tidak semua desa mengalami pola yang sama; konteks tiap kampung bisa berbeda.)

Intinya, ini masalah ekosistem, bukan menyalahkan satu pihak. Justru karena ekosistemlah solusinya juga harus gotong royong

Apa Itu Gerakan Numerasi Nasional (GNN)?

GNN adalah ajakan kolaboratif nasional untuk membuat pembelajaran numerasi lebih bermakna, menyenangkan, dan relevan—melibatkan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Targetnya: anak terbiasa berpikir logis, kritis, dan memecahkan masalah lewat aktivitas numerik yang sederhana tapi rutin.

AKM Numerasi pada Asesmen Nasional mengukur kemampuan bernalar dengan angka lintas mata pelajaran—bukan hafalan rumus—sehingga sekolah bisa memetakan kelemahan nyata dan memperbaikinya.

Yang Bisa Sekolah Lakukan 

  1. Ritual 10 Menit Numerasi (di awal pelajaran/apel kelas).
    Latihan singkat berbasis konteks: harga di kantin, jadwal piket, pengukuran panjang karya prakarya, atau membaca grafik sederhana (absensi, cuaca).

  2. Soal Kontekstual Rutin di semua mapel.
    Guru IPS, IPA, PJOK, hingga Seni bisa menyisipkan data/angka: membaca tabel, diagram, skala peta, waktu & jarak, dll. (Sejalan dengan panduan Kurikulum Merdeka & penguatan literasi-numerasi). 

  3. Manfaatkan TV/Panel Interaktif yang sudah ada.
    Tampilkan grafik interaktif, permainan kuis cepat, atau simulasi “belanja di warung” dengan kalkulasi kembalian—belajar numerasi jadi visual dan seru.

  4. Klub “Angka Sehari-hari”.
    Seminggu sekali, 30 menit: anak menghadirkan data kecil dari rumah (mis. daftar belanja, ukuran panci, jam kegiatan), lalu berdiskusi.

  5. Remedial kecil, sering.
    Alih-alih remedial besar di akhir, beri umpan balik mingguan dengan latihan 5–8 soal pendek bertahap.

Yang Bisa Orang Tua Lakukan
  1. Tetapkan “Jam Tenang 20 Menit” setiap malam untuk latihan numerasi ringan (tanpa gawai).
  2. Libatkan anak saat berbelanja: hitung total, diskon sederhana, kembalian.
  3. Ukur & takar saat memasak: perbandingan 1:2, ½ gelas, ¼ sendok—ini dasar pecahan.
  4. Tanya 1 pertanyaan data per hari: “Berapa menit kita ke sekolah tadi?” “Berapa gelas air kamu minum?” 

Target Kecil, Dampak Nyata

  • Kelas ramah angka: anak berani coba, tak takut salah.

  • Orang tua terlibat wajar: tahu apa yang perlu ditanya/didampingi.

  • Guru lintas mapel terbiasa menyelipkan data dan grafik.

  • Tren Rapor Pendidikan: indikator numerasi pelan-pelan naik karena latihan yang sering, singkat, kontekstual

Numerasi adalah bahasa kedua untuk memahami dunia. Dengan kebiasaan kecil yang dilakukan bersama—di kelas, di rumah, dan di lingkungan—anak-anak kita bukan hanya lebih cakap berhitung, tapi juga lebih percaya diri mengambil keputusan. Mari jadikan sekolah dan rumah sebagai ruang bermain data yang hangat, menyenangkan, dan bermakna. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KUIS Inspirasi Pagi Sesion 1

Tenaga Pendidik SMAN 1 Petak Malai