Manyipa di Sekolah: Antara Warisan Budaya dan Tantangan Pendidikan

SMAN 1 Petak Malai - Di tengah keseharian sekolah yang penuh dengan aktivitas belajar, ada satu kebiasaan menarik yang masih terlihat di beberapa daerah pedalaman, termasuk di lingkungan SMAN 1 Petak Malai yaitu manyipa atau menyirih. Tradisi ini telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat dan masih dipraktikkan oleh sebagian warga, bahkan oleh beberapa siswa dan guru.

Tradisi Menginang di sekolah

Bagi masyarakat Dayak dan sejumlah etnis lain di Nusantara, manyipa bukan sekadar kebiasaan, melainkan simbol keakraban dan keramahan. Sirih, kapur, tembakau, dan gambir yang disediakan dalam wadah kecil menjadi tanda penerimaan dan penghormatan terhadap sesama. Dalam percakapan santai, berbagi sirih sering menjadi cara menjalin hubungan sosial yang hangat dan penuh makna.

Namun, ketika tradisi ini hadir di lingkungan sekolah, muncul pertanyaan yang menarik untuk direnungkan: bagaimana posisi kebiasaan ini dalam dunia pendidikan modern?
Sekolah, di satu sisi, berperan sebagai tempat pewarisan nilai budaya; namun di sisi lain juga bertanggung jawab membentuk kebiasaan hidup sehat dan lingkungan belajar yang bersih.

Antara Budaya dan Tanggung Jawab Pendidikan

Dari sisi kearifan lokal, kebiasaan manyipa mencerminkan kekayaan budaya yang patut dihargai. Ia mengajarkan nilai kebersamaan, kesantunan, dan identitas lokal yang kuat. Oleh karena itu, tradisi ini tidak semestinya dipandang negatif. Justru, bisa dijadikan bahan pembelajaran bagi siswa untuk memahami akar budaya sendiri, misalnya melalui kegiatan  kookurikuler bertema Kearifan Lokal, atau dalam pelajaran sosiologi dan antropologi.

Namun dari sisi kesehatan dan etika sekolah, menyirih tidak bisa dilakukan tanpa batas. Beberapa bahan utama dalam sirih  terutama tembakau dan kapur sirih dapat memberi efek yang kurang baik jika digunakan terus-menerus.

Memahami Dampak Kesehatan dengan Bijak

Dalam setiap tradisi, selalu ada sisi yang bisa dipelajari secara ilmiah. Demikian pula dengan manyipa.
Tembakau yang dicampur dalam ramuan sirih mengandung nikotin, yaitu zat yang bisa menimbulkan ketergantungan serta menyebabkan perubahan warna gigi dan iritasi di jaringan mulut. Dalam jangka panjang, penggunaan tembakau yang terus-menerus berpotensi meningkatkan risiko gangguan kesehatan mulut bahkan kanker mulut.

Sementara itu, kapur sirih yang berfungsi memberikan rasa hangat ternyata bersifat cukup kuat secara kimia. Jika digunakan berlebihan, kapur dapat mengikis gusi, membuat luka di bagian dalam mulut, serta mengubah pH alami mulut sehingga bakteri mudah tumbuh. Akibatnya, gigi bisa menjadi lebih sensitif, mudah berlubang, dan timbul sariawan.

Tentu saja penjelasan ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengajak semua pihak memahami tradisi secara lebih utuh tidak hanya dari sisi sosial, tetapi juga dari sisi kesehatan. Dengan demikian, masyarakat dan sekolah dapat bersama-sama menjaga nilai budaya tanpa mengabaikan pentingnya gaya hidup sehat.

Menjaga Warisan, Menggenggam Masa Depan

Manyipa di sekolah menjadi cerminan bahwa dunia pendidikan dan budaya lokal dapat berjalan berdampingan saling memahami, saling menghargai, dan bersama membentuk generasi muda yang berakar pada nilai-nilai leluhur namun tetap berpikir maju.

Sekolah hadir bukan untuk menghapus tradisi, tetapi untuk menuntun agar setiap nilai budaya diwariskan dengan cara yang sehat, cerdas, dan penuh makna.

Komentar