Cerpen: Jejak di Persimpangan Hati
Cerpen: Jejak di Persimpangan Hati
Di sebuah desa yang dikelilingi sawah menghijau dan hutan bambu yang gemerisik ditiup angin, hiduplah dua pemuda yang sejak kecil dikenal sebagai sahabat karib: Angga dan Tian. Keduanya tumbuh bersama, bermain bola di tanah lapang, mandi di sungai yang jernih, bahkan menimba ilmu di sekolah yang sama. Orang-orang desa sering menyebut mereka “dua sejoli tanpa darah” karena di mana ada Angga, di situ pasti ada Tian.
Namun, sebagaimana pepatah lama berkata “tak selamanya pelangi bertahan di langit, kadang hujan harus turun”, persahabatan itu diuji ketika hadir sosok yang menggetarkan hati keduanya.
Namanya Putri Kania, dara cantik dari kota metropolitan yang sedang berlibur di rumah kakeknya di desa itu. Penampilannya memikat: rambut panjang tergerai seperti sutra hitam, senyum menawan, dan tutur kata yang lembut namun tegas. Ia seperti bunga mawar yang mekar di tengah ladang ilalang—indah, berbeda, dan sulit diabaikan.
Pertemuan pertama terjadi di pasar desa. Tian yang sedang membantu ibunya berjualan sayur, tak sengaja menabrak Putri hingga keranjang buahnya jatuh berhamburan.
“Ya ampun, maaf sekali!” Tian buru-buru memunguti apel yang berserakan.
Putri tersenyum, “Tidak apa-apa. Justru saya yang kurang hati-hati.”
Sejak saat itu Tian tak bisa menghapus bayangan Putri dari benaknya.
Beberapa hari kemudian, giliran Angga yang bertemu Putri di tepian sungai. Saat itu Putri tengah duduk di batu besar, membaca buku sambil menikmati desiran air. Angga yang baru selesai memancing, memberanikan diri menyapa.
“Sendiri, ya? Biasanya sungai ini ramai anak-anak.”
Putri mendongak, tersenyum hangat. “Saya suka tenang. Di kota, hampir tak ada tempat seperti ini.”
Obrolan ringan itu menjelma menjadi keakraban. Angga merasakan sesuatu yang berbeda: ada desir halus dalam dadanya setiap kali Putri tertawa.
Hari demi hari, keduanya—Angga dan Tian—semakin sering bersama Putri. Namun tanpa sadar, bibit perasaan yang sama tumbuh di hati mereka. Dari sekadar kagum, menjadi suka, lalu berkembang menjadi cinta. Di sinilah badai mulai mengusik persahabatan mereka.
Suatu sore, Angga dan Tian bertemu di warung kopi desa. Suasana yang biasanya hangat terasa dingin.
“Ngga, aku tahu kamu dekat dengan Putri,” Tian membuka pembicaraan dengan nada tegas.
Angga menatap sahabatnya. “Kenapa, Yan? Bukannya kamu juga sering bersamanya?”
“Justru itu masalahnya. Aku serius dengan dia.” Tian mengepalkan tangan.
Angga menarik napas panjang. “Aku juga, Yan. Aku tak bisa membohongi diriku. Aku mencintainya.”
Kesunyian tiba-tiba jatuh di antara mereka, seperti malam tanpa bintang. Dari mata mereka, jelas terlihat: persahabatan yang dibangun bertahun-tahun kini retak karena satu nama—Putri Kania.
Hari-hari setelahnya, Angga dan Tian jarang lagi terlihat bersama. Mereka bersaing secara diam-diam, mencoba merebut perhatian Putri. Hingga suatu malam, di sebuah pesta kecil desa, ketegangan itu meledak.
Di bawah cahaya lampu petromaks, Angga dan Tian saling beradu kata.
“Jangan lagi kau dekati Putri!” seru Tian, nadanya meninggi.
“Kenapa? Dia bukan milikmu!” balas Angga.
Suasana menjadi tegang, orang-orang desa mulai mengerumuni. Putri yang melihat perdebatan itu segera melangkah maju. Dengan wajah sendu, ia berkata lirih namun tegas:
“Cukup! Kalian berdua… apa persahabatan kalian begitu murah hingga bisa dihancurkan hanya karena aku? Aku datang ke desa ini bukan untuk memecah belah, tapi mencari ketenangan. Aku menganggap kalian teman, bukan lebih.”
Kata-katanya menusuk hati. Angga terdiam, Tian pun menunduk. Seakan tersadar bahwa mereka telah buta oleh rasa. Malam itu, di hadapan orang-orang desa, keduanya saling berpandangan. Ada luka, ada gengsi, tapi juga ada kerinduan pada persahabatan lama.
Beberapa hari kemudian, Angga mendatangi rumah Tian. Ia membawa sebilah bambu muda—lambang perdamaian dalam tradisi desa.
“Tian, maafkan aku. Aku terlalu egois.”
Tian menatapnya lama, lalu tersenyum getir. “Aku juga, Ngga. Kita terlalu bodoh membiarkan hati mengalahkan persahabatan.”
Mereka pun berpelukan, seperti masa kecil dulu.
Sementara Putri, setelah liburannya usai, kembali ke kota dengan meninggalkan satu pesan dalam secarik kertas:
“Hati memang bisa jatuh cinta, tapi sahabat sejati hanya datang sekali. Jangan pernah kalian sia-siakan itu.”
Pesan Cerpen:
Persahabatan adalah harta yang tak ternilai. Cinta bisa datang dan pergi, tapi sahabat sejati adalah pelita yang menyinari jalan hidup kita.
Komentar
Posting Komentar