Cerpen : Langkah yang kembali

Langkah yang Kembali

Cerpen langkah yang kembali

Di sebuah desa kecil di tepi sungai, angin sore membawa aroma padi yang mulai menguning. Di sanalah Rina dan Dina tumbuh bersama, menautkan mimpi di panggung seni. Rina, dengan gerakan tarinya yang luwes dan penuh jiwa, adalah penari kebanggaan desa. Dina, dengan suara emasnya yang hangat, mampu membuat siapa pun terdiam terpaku.

Mereka sering tampil di balai desa yang sederhana. Musik Dina dan tarian Rina seolah berpadu menjadi satu bahasa, tak membutuhkan kata. Suatu hari, keduanya mendapat kabar bahwa desa mereka akan mengirim perwakilan untuk Pentas Seni Kabupaten—mimpi yang sejak lama mereka tunggu.

Namun, mimpi itu retak lebih cepat dari yang mereka kira.
Sebuah sore gerimis, Rina terpeleset di jalan berbatu sepulang sekolah. Pergelangan kakinya terkilir parah. Berbulan-bulan ia harus beristirahat. Ketika masa pemulihan usai, ia mencoba kembali tampil di Festival Seni Desa bersama Dina.

Lampu bohlam menggantung di panggung kayu. Penonton bertepuk tangan saat musik dimulai. Dina bernyanyi, Rina mulai menari. Tapi di tengah lagu, langkah Rina tersendat—kakinya terasa berat, nyeri seperti menarik ke bawah. Gerakannya goyah. Ia memaksakan senyum sampai lagu selesai. Tepuk tangan terdengar… tapi tidak seperti dulu.

Malamnya, Rina menatap sepatu tarinya lama sekali.
“Din… aku rasa sudah cukup. Aku nggak bisa lagi,” katanya lirih.
“Kau cuma butuh waktu, Rin.”
“Tidak. Dengan sisa cidera ku ini, waktunya pasti tidak akan cukup. Ucapnya sembari menghela nafas.

Sejak hari itu, semangat Rina menghilang. Ia jarang keluar rumah, menolak latihan, bahkan sempat berencana menjual sepatu tarinya. Dina tahu, jika ia membiarkan ini, mimpinya dan mimpi Rina akan mati.

Dina lalu memulai bertindak. 
Ia datang hampir setiap hari, membawa gitar kecil. Kadang ia menyanyi sambil bercerita tentang penari-penari yang pernah jatuh tapi bangkit. Kadang ia menarik Rina keluar rumah hanya untuk duduk di tepi lapangan, menonton anak-anak desa berlatih tari.

Saat lomba 17 Agustus tiba, Dina diam-diam mengatur agar anak-anak meminta Rina menjadi pelatih mereka. Rina sempat menolak, tapi tatapan penuh harap anak-anak membuatnya luluh. Mengajar mereka ternyata menghidupkan sedikit demi sedikit semangat yang terkubur.

Suatu malam, di bawah cahaya lampu bohlam di halaman rumah Dina, mereka mencoba latihan bersama. Dina bernyanyi, Rina mencoba gerakan pelan. Langkahnya masih kaku, kadang terhenti karena nyeri.
“Nggak apa-apa,” kata Dina, “kita ulang dari awal.”

Beberapa minggu kemudian, kabar itu datang: desa kembali mengirim mereka untuk Pentas Seni Kabupaten. Rina terdiam, lalu menatap Dina.
“Kalau aku gagal lagi…?”
“Kalau kau jatuh, aku akan ikut jatuh. Dan kita akan bangkit lagi. Bersama.”

Latihan dimulai. Pagi-pagi mereka berlatih di tepi sungai, pasirnya lembut di kaki Rina. Malamnya, mereka berlatih di balai desa. Dina menyesuaikan tempo lagu, memberi ruang bagi Rina untuk bernapas dan mengatur langkah. Pelan tapi pasti, gerakan Rina mulai kembali seperti dulu—bahkan lebih penuh makna.

Hari pertunjukan tiba. Aula kabupaten penuh sesak, lampu sorot menerangi panggung. Dari balik tirai, Rina melihat ratusan pasang mata di hadapan mereka. Jantungnya berdebar keras. Tangannya dingin.
“Kau siap?” bisik Dina.
“Aku takut.”
“Aku di sini.” Dina menggenggam tangan Rina, lalu melangkah ke panggung.

Musik mengalun, suara Dina merdu dan tegas, memenuhi ruangan. Rina mengambil napas panjang, lalu melangkah. Setiap gerakan mengikuti alunan suara sahabatnya. Putaran, hentakan, ayunan tangan—semuanya mengalir. Ia merasakan kembali apa yang dulu ia cintai: kebebasan di panggung.

Di bagian akhir, Dina menaikkan nada, dan Rina melakukan putaran terakhir dengan hentakan kaki yang mantap. Musik berhenti.

Hening sejenak… lalu tepuk tangan bergemuruh. Sebagian penonton berdiri, memberi penghormatan. Sorot lampu memantul di mata Rina yang basah oleh air mata. Ia menatap Dina, tersenyum lebar.

Malam itu, ia sadar: cedera itu memang pernah menghentikan langkahnya, tapi persahabatanlah yang mengajaknya kembali menari.

Komentar