Cerpen : Malam Yang Tenang

Malam yang Tenang

Karya: Wulandari

Penyunting : Muhammad Jumani


Ilustrasi cerpen malam yang tenang


Malam itu begitu tenang

Terlalu tenang, hingga degup jantungku sendiri terdengar seperti genderang perang.

Langit tergantung luas dengan bulan purnama yang membulat sempurna. Cahayanya jatuh menyinari jalanan desa yang lengang, membentuk bayangan pohon-pohon yang bergoyang pelan tertiup angin malam. Aku baru saja pulang dari rumah sepupuku di seberang kampung, setelah membantu menyiapkan perlengkapan hajatan. Karena terlalu asyik mengobrol, waktu berlalu begitu cepat hingga tanpa kusadari sudah hampir tengah malam.

Aku berjalan sendirian, menyusuri jalan setapak yang dibatasi semak dan pohon bambu. Langkahku ringan, tapi pikiranku mulai dipenuhi kecemasan. Biasanya, aku tak takut gelap. Tapi malam itu, entah kenapa, bulu kudukku terus meremang.

Tap. Tap. Tap.

Suara itu…

Langkah kaki.

Awalnya aku mengira itu hanya gema dari langkahku sendiri. Tapi ketika aku berhenti, suara itu juga berhenti. Aku menoleh ke belakang. Kosong. Jalan yang kulewati sunyi, hanya rerumputan yang bergoyang.

Aku kembali melangkah, sedikit lebih cepat. Langkah itu juga ikut mempercepat.

Deg.

Jantungku berdentum keras. Keringat dingin mulai membasahi punggungku.

Aku menelan ludah, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya khayalan. Tapi langkah-langkah itu begitu nyata, seperti... seseorang sedang mengikutiku.

Aku memperlambat langkahku. Suara itu juga melambat.

“Siapa di sana?” tanyaku lirih, suaraku nyaris tercekat.

Tidak ada jawaban. Hanya suara angin malam yang berdesir lirih melewati sela dedaunan.

Aku menoleh lagi. Tidak ada siapa-siapa.

Tapi ketika aku kembali menatap ke depan—aku terlonjak.

Seseorang berdiri di hadapanku.

Tinggi. Diam. Tidak bergerak. Wajahnya samar, tertutup bayangan dan rambut panjang yang berantakan.

“Si... siapa kamu?” tanyaku dengan suara bergetar.

Ia tak menjawab. Mata gelapnya menatap lurus ke arahku. Kosong. Dingin.

Kakiku ingin lari, tapi tubuhku seperti terpaku. Napasku sesak. Tapi aku mencoba menahan diri agar tidak panik. Aku menggenggam tali tas dengan erat, jari-jariku gemetar.

Aku mundur perlahan, mencoba melangkah menjauh.

Baru beberapa langkah, aku berbalik dan—sosok itu kembali berdiri di hadapanku.

Aku menjerit, tapi suara itu hanya menggema di dalam dada. Tak ada suara keluar dari mulutku.

“Ssstttt…”

Akhirnya suara itu terdengar. Pelan. Serak. “Kau... menginjak jalanku...”

“A... apa maksudmu?” tanyaku ketakutan.

Sosok itu menunduk, lalu menghilang sekejap—muncul kembali tepat di sampingku. Tubuhku lemas. Air mata mulai tumpah tanpa bisa kubendung.

“Jangan ganggu aku… aku hanya ingin pulang…” isakku.

Tiba-tiba, dari dalam saku jaketku, aku meraba dan menemukan sesuatu: kalung kecil berbandul kayu pemberian nenekku. Katanya, kalung itu dibuat dari kayu pohon tua yang dikeramatkan, dan akan melindungiku jika dalam bahaya.

Dengan tangan gemetar, aku genggam kalung itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Entah karena keberanian atau keputusasaan, aku berteriak, “Kalau kau bukan dari dunia ini... biarkan aku lewat!”

Hening.

Sosok itu menatap kalung di tanganku. Matanya menyipit.

Lalu perlahan, tubuhnya memudar, seperti asap yang tertiup angin.

Aku terjatuh berlutut. Napasku terengah. Kaki dan tangan gemetar. Tapi sosok itu menghilang… benar-benar hilang. Tak ada jejak.

Dengan sisa tenaga, aku berlari. Tak peduli pada semak yang melukai kaki, atau ranting yang mencakar kulit. Aku hanya ingin satu hal: selamat sampai rumah.

Dan akhirnya, ketika rumahku terlihat dari kejauhan, tubuhku lunglai. Aku menangis dalam pelukan Ibu yang membukakan pintu dengan wajah panik.

"Ada apa, Nak? Kau kenapa?"

Aku hanya bisa berkata pelan, "Aku... baru saja bertemu sesuatu yang tak bisa dijelaskan..."

Dan malam itu, di rumah yang hangat dan penuh cahaya, aku bersyukur masih bisa melihat pagi.


Komentar