Pendidikan Itu Memang Mahal – Sebuah Renungan dari Pedalaman
Di tengah heningnya rimba Kalimantan, di antara ladang dan sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, tersimpan satu kenyataan sederhana namun dalam maknanya: pendidikan itu memang mahal. Bukan mahal karena biaya sekolah atau pungutan, sebab sekolah negeri seperti SMAN 1 Petak Malai tidak memungut biaya apa pun dari peserta didiknya. Pendidikan dikatakan mahal karena memerlukan pengorbanan waktu, tenaga, bahkan kesempatan untuk membantu keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Bagi anak-anak di pedalaman, bersekolah sering kali berarti melepaskan sebagian tanggung jawab mereka di rumah atau di ladang. Pada musim manugal atau panen, misalnya, sebagian siswa harus ikut membantu keluarga mereka dalam tradisi handep, yaitu gotong royong mengerjakan ladang secara bergilir antarwarga. Pekerjaan itu tentu tidak selesai dalam sehari dua hari, sehingga sering kali mereka harus meninggalkan sekolah untuk waktu yang cukup lama. Dalam situasi seperti ini, guru hanya bisa berharap mereka segera kembali agar tidak tertinggal pelajaran terlalu jauh.
Di sisi lain, perjalanan menuju sekolah pun bukan perkara mudah. Ketika ada keluarga yang meninggal dunia atau hajatan besar di kampung halaman, perjalanan pulang pergi bisa memakan waktu hingga dua hari. Akibatnya, izin atau ketidakhadiran siswa menjadi lebih panjang daripada yang bisa ditoleransi jika mengacu pada aturan sekolah di kota.
Padahal, disiplin kehadiran dan ketegasan aturan merupakan salah satu pembeda utama antara pendidikan di kota dan di pedalaman. Di sekolah-sekolah perkotaan, siswa yang tidak hadir selama tiga hari berturut-turut mungkin akan mendapatkan teguran resmi atau bahkan kehilangan hak untuk mengikuti ujian. Namun di pedalaman, menjalankan aturan seketat itu bukan hal mudah. Kondisi geografis, budaya masyarakat, dan tuntutan hidup membuat sekolah harus mencari jalan tengah antara kedisiplinan dan empati.
Pemerintah dan sekolah sebenarnya telah berupaya keras untuk meminimalkan kesenjangan kualitas ini. Fasilitas belajar di pedalaman kini mulai ditingkatkan—mulai dari papan tulis interaktif, panel surya, hingga akses internet satelit untuk mendukung pembelajaran digital. Semua itu adalah langkah maju yang patut disyukuri. Namun, sebagus apa pun fasilitas yang tersedia, hasil pembelajaran tidak akan maksimal jika kehadiran siswa masih rendah.
Karena itu, pendidikan yang “mahal” bukan tentang uang, melainkan tentang kesediaan untuk berkorban. Sekolah sudah berjuang menyediakan sarana dan tenaga pendidik terbaik. Kini yang dibutuhkan adalah dukungan dan komitmen dari orang tua agar anak-anak mereka bisa menempatkan belajar sebagai prioritas utama.
Di pedalaman, setiap langkah menuju sekolah adalah bagian dari perjuangan besar. Dan setiap anak yang tetap memilih hadir di kelas, meski ada ladang yang harus diolah atau sungai yang harus diseberangi, sejatinya sedang membayar harga mahal itu harga sebuah harapan untuk masa depan yang lebih baik.


Komentar
Posting Komentar