Apakah Indonesia Perlu Meniru Korea Selatan?

SMAN 1 Petak Malai - Dalam beberapa hari terakhir, dunia pendidikan diramaikan oleh berita dari Korea Selatan yang menerapkan kebijakan tegas terhadap pelaku bullying. Beberapa universitas ternama di negara tersebut menolak pendaftaran calon mahasiswa yang memiliki catatan kekerasan di sekolah bahkan jika nilai akademik mereka tinggi. Keputusan ini memicu perdebatan besar: apakah hukuman semacam itu benar-benar efektif, atau justru terlalu keras bagi remaja yang masih dalam proses berkembang?

pro kontra sanksi Bullying ala korea

Tulisan ini mencoba menelaah kebijakan Korea Selatan tersebut, sekaligus melihat apakah langkah serupa layak diterapkan di Indonesia.

Kebijakan Anti-Bullying di Korea Selatan: Tegas dan Jangka Panjang

Korea Selatan dikenal dengan sistem pendidikannya yang ketat. Ketika kasus perundungan semakin sering muncul dan menjadi perhatian nasional, pemerintah serta banyak universitas mengambil langkah lebih keras.

Beberapa poin penting kebijakan mereka adalah:

  1. Catatan bullying menjadi dokumen permanen dalam rekam jejak siswa.

  2. Universitas berhak menolak calon mahasiswa yang pernah terlibat perundungan, terutama pada tingkat pelanggaran yang berat.

  3. Kebijakan ini berlaku tidak hanya pada jalur prestasi, tetapi juga terkait seleksi akademik reguler.

  4. Banyak universitas top termasuk Seoul National University  sudah menolak puluhan pendaftar karena riwayat bullying.

  5. Pemerintah memperpanjang masa penyimpanan catatan pelanggaran, bahkan hingga memengaruhi masa depan pendidikan siswa.

Korea melihat bullying bukan sekadar kenakalan, tapi pelanggaran Etika Sosial yang berdampak pada masyarakat luas. Karena itu, mereka menilai bahwa pelaku bullying perlu mempertanggungjawabkan perbuatannya, bahkan setelah lulus sekolah.

Pro dan Kontra Kebijakan Korea Selatan

Pro:

  1. Memberikan efek jera yang kuat
    Siswa akan berpikir dua kali sebelum melakukan kekerasan, karena tahu masa depannya bisa dipertaruhkan.

  2. Melindungi korban dan calon korban
    Lingkungan sekolah menjadi lebih aman karena pelaku merasa diawasi secara serius.

  3. Mendorong budaya saling menghormati
    Bukan hanya hukuman, tetapi pesan moral bahwa karakter jauh lebih penting daripada nilai akademik.

  4. Meningkatkan kepercayaan publik
    Orang tua merasa sistem pendidikan berpihak pada keselamatan anak.

Kontra:

  1. Risiko menghukum seumur hidup
    Remaja masih dalam masa pembentukan karakter. Jika kesalahan di usia 15–17 tahun memengaruhi nasib hingga kuliah, bukankah itu terlalu ekstrem?

  2. Tidak semua kasus bullying sama tingkatnya
    Kadang pelanggaran ringan atau salah paham juga bisa masuk catatan, tetapi konsekuensinya tetap berat.

  3. Menghambat proses rehabilitasi
    Alih-alih mendidik ulang pelaku, kebijakan ini justru bisa memberi stigma permanen.

  4. Peluang penyalahgunaan
    Catatan bullying bisa digunakan sebagai alat politik sekolah atau sengketa antar siswa/keluarga.

Kebijakan ini pada akhirnya menciptakan dua kutub: mereka yang mendukung total demi keamanan, dan mereka yang menilai bahwa remaja harus diberi kesempatan kedua.

Apakah Kebijakan Seperti Korea Perlu Diterapkan di Indonesia?

Indonesia memiliki konteks sosial dan budaya yang berbeda. Sistem pendidikan kita masih berfokus pada pendekatan pembinaan, bukan penjudisilan perilaku siswa.

Jika Indonesia meniru Korea secara langsung, tantangannya besar:

1. Sistem pendataan belum siap

Sekarang saja pencatatan pelanggaran masih beragam antar sekolah. Belum ada standar nasional yang benar-benar rapi, apalagi yang sifatnya permanen.

2. Risiko ketidakadilan sangat tinggi

Bullying sering terjadi diam-diam, banyak yang tidak tercatat, dan definisinya sering kabur.
Tiba-tiba menjadikannya dasar penolakan masuk universitas dapat menimbulkan sengketa besar.

3. Peran sekolah di Indonesia masih dominan sebagai “pendidik”

Jika hukuman dibuat terlalu berat, sekolah bisa berubah fungsi menjadi lembaga “penghukum”, bukan pembina karakter.

4. Kondisi sosial-emosional siswa Indonesia sangat beragam

Di banyak daerah, termasuk pedalaman, kasus perundungan sering terjadi bukan karena niat jahat, tetapi karena kurangnya edukasi karakter, konflik keluarga, atau masalah sosial.

Konsekuensi Jika Indonesia Menerapkan Kebijakan Serupa

Jika kebijakan “tidak bisa masuk kampus karena bullying” diterapkan langsung, beberapa konsekuensi kemungkinan terjadi:

Konsekuensi Positif
  • Menurunkan angka bullying karena siswa takut sanksi berat

  • Sekolah lebih serius dalam pencegahan

  • Korban merasa lebih aman dan terlindungi

Konsekuensi Negatif

  • Munculnya ketakutan berlebihan dan budaya saling melapor

  • Pelaku bullying “kelas ringan” bisa kehilangan masa depan

  • Meningkatnya praktik manipulasi data, seperti sengaja membuat lawan sekelas terlihat sebagai pelaku

  • Potensi stigma sosial bertahun-tahun bagi seorang remaja

Kebijakan anti-bullying memang wajib tegas, tetapi tegas tidak selalu harus menghukum permanen.

Lalu, Kebijakan Apa yang Sebaiknya Diterapkan Indonesia?

Daripada menyalin mentah-mentah kebijakan Korea, Indonesia lebih cocok menerapkan pendekatan bertahap yang seimbang antara pencegahan, penegakan, dan pemulihan.

1. Standarisasi Nasional Catatan Perilaku

Tidak harus permanen, tapi dicatat dengan rapi dan bisa dievaluasi.

2. Pendekatan Restorative Justice

Pelaku wajib:

  • meminta maaf secara formal,

  • mengikuti konseling,

  • memperbaiki kerugian sosial atau psikologis korban.

3. Sanksi berjenjang yang jelas

Dari pembinaan → skors → pembinaan lanjutan → hingga langkah lebih keras bila pelanggaran berat.

4. Program pembinaan karakter yang konsisten

Nilai-nilai seperti empati, komunikasi sehat, dan pengelolaan emosi harus diajarkan sejak awal, bukan hanya saat ada masalah.

5. Perlindungan maksimal bagi korban

Korban sering kali tidak berani bicara; sekolah harus proaktif menciptakan budaya aman untuk melapor.

6. Pelaku diberi kesempatan berubah

Dibina, didampingi, dan dipantau  bukan langsung “dikunci” masa depannya.

Korea Selatan memilih pendekatan tegas karena angka bullying di sana tinggi dan masyarakat menuntut hukuman keras. Indonesia tentu perlu belajar dari pengalaman itu bahwa perundungan bukan masalah kecil, dan bisa merusak masa depan banyak anak.

Namun, dalam konteks Indonesia, kebijakan yang paling bijak bukanlah menghukum pelaku seumur hidup, melainkan mendidik mereka untuk berubah sambil tetap melindungi korban.

Sekolah harus tetap menjadi tempat paling aman dan paling manusiawi bagi semua siswa  baik yang menjadi korban maupun yang pernah menjadi pelaku.

Komentar