Menginspirasi Siswa Lewat Kisah Raihan Sang Penemu Muda

SMAN 1 Petak Malai - Setiap anak lahir dengan bakat, rasa ingin tahu, dan kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang cepat memahami logika matematika, ada yang suka berkarya dari barang bekas, ada yang gemar bertanya tentang hal-hal kecil di sekelilingnya. Keistimewaan itu tidak bergantung pada di mana mereka tinggal. Anak di kota dan anak di pedalaman sama-sama memiliki potensi besar yang membedakan hanyalah sejauh mana lingkungan mendukung dan memberi ruang agar bakat itu muncul ke permukaan.

Inspirasi Kisah Raihan Penemu Tinta dari Kulit Bawang Putih
Beberapa waktu lalu, publik dibuat kagum oleh seorang siswa SMP bernama Raihan Jouzu Syamsudin. Ia berhasil menciptakan tinta spidol ramah lingkungan dari kulit bawang putih sesuatu yang mungkin tidak pernah terpikir sebelumnya. Raihan melihat tumpukan limbah kulit bawang yang selama ini dianggap tidak berguna, lalu bertanya pada dirinya sendiri: bisakah limbah ini menjadi sesuatu yang bermanfaat? Dengan rasa ingin tahu dan keberanian untuk mencoba, ia mengekstraksi pigmen alami dari kulit bawang putih hingga menghasilkan tinta yang dapat digunakan untuk menulis di papan tulis. Temuannya kemudian viral dan membawa namanya dikenal luas karena mampu mengubah masalah lingkungan menjadi peluang perubahan.

Kisah ini penting bukan hanya karena inovasinya, tetapi karena pesan besar di baliknya: potensi anak-anak Indonesia begitu luar biasa. Dan potensi itu bisa tumbuh di mana saja termasuk di pedalaman seperti SMAN 1 Petak Malai.

Di pedalaman, mungkin fasilitas tidak selengkap kota, akses informasi tidak semudah di tempat lain, dan kesempatan belajar terkadang terhalang oleh jarak, sinyal, atau alat yang terbatas. Namun keterbatasan itu bukanlah penghalang mutlak. Justru, di balik tantangan tersebut, anak-anak pedalaman memiliki kekuatan lain: kedekatan dengan alam, kreativitas menghadapi serba terbatas, dan kemampuan memanfaatkan bahan-bahan lokal yang sering terabaikan.

Jika Raihan bisa memanfaatkan kulit bawang putih, maka siswa di pedalaman pun dapat menemukan hal serupa dari lingkungan sekitarnya mulai dari limbah pertanian, bahan alam, hingga barang-barang yang sering dibuang. Yang mereka butuhkan adalah dorongan untuk bertanya, ruang untuk bereksperimen, dan dukungan dari guru, sekolah, serta masyarakat sekitar agar rasa ingin tahu itu tidak mati sebelum berkembang.

Sekolah memiliki peran besar dalam hal ini. Guru dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk mencoba membuat karya sains sederhana, menguji ide-ide kecil, atau mengembangkan proyek yang terinspirasi dari masalah sehari-hari. Lingkungan sekolah bisa menjadi tempat aman untuk gagal, untuk mencoba lagi, dan untuk belajar bahwa inovasi lahir dari keberanian mengambil langkah pertama. Orang tua dan masyarakat pun bisa ikut mendukung dengan menyediakan bahan lokal, memberi cerita-cerita inspiratif, atau sekadar memberikan apresiasi atas usaha yang anak-anak lakukan.

Anak-anak di pedalaman tidak kalah hebatnya dengan anak-anak di kota. Mereka hanya butuh kepercayaan bahwa kemampuan mereka berarti dan dapat membawa dampak. Jika ruang kreativitas itu dibuka, bukan tidak mungkin suatu hari nanti muncul “Raihan” baru dari pedalaman Kalimantan anak-anak yang berani bermimpi, menemukan hal-hal baru, dan memberi inspirasi bagi Indonesia.

Komentar